Esensi dari kewajiban memungut PPN adalah adanya penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang sesungguhnya terjadi. Kasus sengketa PPN yang melibatkan CVL ini menyoroti praktik DJP yang melakukan koreksi DPP PPN Keluaran senilai Rp8.928.838.000 berdasarkan laporan penjualan proforma yang dibuat oleh CVL untuk kepentingan pengajuan kredit Bank. Dokumen penjualan proforma merupakan estimasi/forecast omzet yang disusun berdasarkan asumsi, dan perbandingan dengan perusanaan sejenis terkait margin keuntungan yang ditujukan untuk analisis kredit.
Sengketa putusan ini bukan merupakan menaikkan omzet di laporan keuangan audit demi mendapatkan kredit bank tetapi DJP hanya melakukan koreksi yang didasari oleh dokumen aplikasi kredit. DJP secara hukum memperoleh dokumen seperti ini dari pihak ketiga Bank BCA melalui permintaan tertulis. Akan tetapi untuk menjadi dasar koreksi, beban pembuktian Pasal 12 ayat (3) UU KUP menuntut bukti yang kompeten dan cukup atas penyerahan riil. Dalam Putusan ini, DJP menggunakan data proyeksi sebagai alat bukti tunggal untuk menetapkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN Masa Pajak Maret 2018.
Pokok sengketa timbul dari perbedaan interpretasi atas saat terutangnya PPN dan kekuatan pembuktian. DJP berpendapat bahwa sejak CVL telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada 2 Maret 2018 sehingga seluruh aktivitas yang terkait dengan penyerahan (termasuk proyeksi dalam dokumen bank) harus dianggap sebagai omset terutang PPN, sesuai kewajiban PKP. Sebaliknya, CVL menyajikan fakta bahwa kegiatan operasional komersial baru dimulai pada April 2018, sehingga secara faktual tidak ada penyerahan BKP/JKP yang terjadi pada Maret 2018, menjadikan pelaporan SPT Masa PPN Maret 2018 dengan nilai nihil adalah benar.
Dalam resolusi sengketa ini, Majelis Hakim secara tegas memisahkan antara kewajiban administratif PKP dengan kewajiban substantif PPN. Majelis berpendapat bahwa dokumen penjualan proforma yang diserahkan CVL kepada Bank BCA hanyalah data proyeksi yang dirancang untuk keperluan permohonan kredit. Menurut Majelis, dokumen tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai bukti yang kompeten, relevan, dan cukup untuk membuktikan adanya penyerahan BKP/JKP yang riil dan belum dilaporkan. Majelis Hakim mengacu pada Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mewajibkan DJP untuk membuktikan koreksi yang dilakukan. Karena DJP gagal menyajikan bukti yang menunjukkan realisasi omset dari dokumen proforma tersebut, koreksi DPP PPN dinyatakan tidak dapat dipertahankan.
Putusan ini memberikan implikasi yang signifikan bagi praktik perpajakan, khususnya bagi Wajib Pajak yang baru memulai usaha atau yang sedang dalam proses mencari pendanaan. Putusan ini menjadi preseden kuat yang menegaskan bahwa data perencanaan atau proyeksi bisnis tidak serta merta dapat diangkat menjadi Dasar Pengenaan Pajak oleh otoritas fiskus. Pelajaran yang dapat diambil adalah pentingnya Wajib Pajak memastikan adanya pemisahan yang jelas antara tanggal pengukuhan PKP dengan tanggal mulai operasi komersial, dan bahwa setiap koreksi harus didukung oleh bukti-bukti transaksi yang nyata dan tercatat dalam pembukuan yang sah.
Dengan demikian Pengadilan Pajak mengabulkan seluruhnya banding CVL. Putusan ini menyoroti kegagalan otoritas pajak dalam membuktikan substansi koreksi omset dan menekankan kembali prinsip bahwa PPN terutang hanya apabila terjadi penyerahan BKP/JKP riil. Wajib Pajak perlu memperkuat dokumentasi terkait commercial operation date mereka dan selalu mengantisipasi bahwa data eksternal, termasuk pengajuan ke bank, dapat menjadi sasaran pemeriksaan, meskipun data tersebut bersifat proyeksi.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini